Tak Ada Subsidi BBM

INFO INDONESIA

Download Revisi File Presentasi “Tak Ada Subsidi BBM” dan Penjajahan Kompeni

Secara matematis memang dengan jumlah konsumsi minyak 1,2 juta bph (barrel/hari), produksi 1 juta bph, dan impor 0,2 juta bph dengan biaya produksi US$ 15/barrel, harga jual US$ 77/barrel dan harga minyak Internasional US$ 125/barrel Indonesia harusnya untung US$ 49,4 juta per hari atau Rp 165,8 Trilyun/tahun(1 barrel=159 liter dan 1 US$ = Rp 9.200). Anda juga bisa menghitung sendiri dengan spreadsheet/kalkulator anda.

Tapi pernyataan rugi pemerintah bisa jadi satu kebenaran/bukan kebohongan karena “Cost Recovery” tahun 2008 untuk produksi sekitar 1 juta bph besarnya menurut LMND Rp 74 trilyun ditambah bagi hasil 15%. Deputi Operasi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Dodi Hidayat mengungkapkan bahwa bagi hasil berikut cost recovery bisa mencapai 60:40.


Jika ini benar, pada produksi 1 juta bph dan harga minyak US$ 125/barrel Indonesia memberi operator asing sebesar Rp 167 Trilyun setiap tahun! Atau US$ 50/barrel. Padahal ongkos pompa minyak yang wajar hanya US$ 4/barrel. Artinya Indonesia dirugikan sebesar Rp 154 trilyun/tahun karena bagi hasil yang tidak wajar. Meski menurut beberapa pengamat seperti Revrisond Baswir dan Amien Rais Indonesia tetap menikmati keuntungan meski harga minyak naik.

Selain itu Sistem Ekonomi Neoliberal memandang adanya “OPPORTUNITY COST” . Sehingga meski eksportir penuh pun tetap dihitung “OPPORTUNITY COST” yang hilang sebagai “SUBSIDI”

Jadi kalau production cost hanya US$ 15/barrel dan harga jual US$ 80/barrel, meski menurut kita itu sudah untung sebesar US$ 65/barrel, tapi menurut para Neoliberalis tetap rugi jika harga pasar US$ 150/barrel.

Menurut mereka negara rugi US$ 70/barrel. Menurut mereka negara “mensubsidi” rakyat sebesar US$ 70/barrel. Beban APBN terlalu berat.

Menurut mereka harga minyak harus sama dengan harga pasar di New York meski UMR Jakarta (Rp 972 ribu/bulan) dengan UMR New York (US$ 7,15/jam atau Rp 11 juta/bulan) berbeda jauh. UMR mereka 1.100% lebih tinggi.

Saya coba muat perhitungan kedua versi yang berlawanan dan mencoba menganalisa mengapa Indonesia yang harusnya untung Rp 165 trilyun lebih menurut versi pertama, kok justru rugi sampai Rp 128 trilyun menurut versi yang lain?

Sebagian data dan asumsi saya ambil dari US Energy Information Administration dan California State Energy Commission. Saya meyakini validitasnya karena 90% minyak Indonesia justru dikelola perusahaan asing yang mayoritas justru dari AS.

Antara seharusnya untung dan akhirnya justru jadi rugi mungkin ada faktor X. Kita harus mencari faktor X yang merugikan. Jika kita bisa mengurangi bahkan menghilangkan faktor X ini, bisa jadi rakyat Indonesia bisa makmur.

Jika kita tahu penyebabnya dan bisa mencari solusinya, maka ini bisa menyelamatkan 5 juta anak Indonesia yang saat ini sedang kurang gizi/kelaparan dari jurang kemiskinan.

Silahkan dibaca dan dipelajari jika perlu diperbaiki jika ada kesalahan.

File Presentasi dan Simulasi bisa didownload di: http://www.mediafire.com/?yr3ndly4zxm

File Simulasi dengan 3 versi bisa didownload di: http://www.mediafire.com/?jez4ynm4vzt

Jika kita tak mampu membantu orang miskin, jangan sengsarakan mereka.

Referensi: http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/10/Utama/ut01.htm

Secara terpisah, Deputi Operasi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Dodi Hidayat mengungkapkan, produksi minyak Indonesia bukan sepenuhnya milik pemerintah RI, tetapi masih harus dibagi dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang mengelola lapangan minyak. Skema bagi hasil sebesar 85 persen untuk pemerintah dan 15 persen untuk KKKS.

Namun, porsi 85:15 itu bukan hasil produksi kotor, tetapi produksi minyak bersih. Artinya nilai produksi masih dikurangi sejumlah pengeluaran seperti biaya eksploitasi, pajak, dan royalti. Sehingga secara neto, bagi hasil bisa menjadi 60:40.

Tinggalkan komentar